Advertisement

Minggu, 31 Maret 2024

Kembali Kepada Sumber Ilmu

Suatu kepuasan bagi setiap orang yang mencari ilmu pengetahuan dapat mengambilnya dari sumber ilmu itu sendiri, sehingga dia mengetahui secara hakikatnya ilmu yang dia cari kadang banyak kesalahan dalam memahami ilmu tersebut, dikarenakan dia tidak mengambil dari ahli dan sumbernya. Banyak orang hanya mencukupkan pengetahuannya dengan apa yang dia dengar tanpa menggali kembali kebenaran ilmu yang telah dia dengar. Oleh karena itu, banyak kesalahan dalam memahami ilmu tersebut. 

 

Begitu pula dengan ilmu syariat, hendaknya kita menimba ilmu dari ahli dan sumberya, terlebih Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan, menjelaskan kepada suluruh manusia bahwa sumber ilmu syariat  tidak lain adalah Al–Qur’an dan sunnah NabiNya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-haditsNya. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan perintah untuk memegang dengannya dalam ayat, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103). 

 

Dijelaskan oleh ahli tafsir bahwa yang di maksud dengan tali Allah adalah Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua perkara ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan saling melengkapi. Kita dapatkan dalam Al Qur’an penyebutan hukum secara umum, dijelaskan dalam hadits rincian dan tata cara pelaksanaannya. Ini menunjukkan, Al Qur’an butuh penafsiran dan penjelasan dengan hadits yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan 2 pegangan kitab untuk kita sampaikan kepada umat manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). 

 

Makna Al Kitab dalam ayat ini adalah Al Qur’an dan al hikmah adalah sunnah. Sebagaimana datang dari Abdurrahman bi ‘Auf, dari Miqdam bin Ma’di, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku di berikan Al Qur’an dan yang semisal dengan Al Qur’an (sunnah).” (HR. Abu dawud, Ahmad)

 

Maka Al Qur’an dan sunnah harus berjalan bersama di dalam melaksanakan syariat. Tidak mungkin seseorang hanya memegang Al Qur’an tanpa sunnah, begitu pula sebaliknya. Dua kitab inilah sumber ilmu syariat islam, wajib bagi setiap muslim untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan di dalam agama. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan di dalam Al Qur’an, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa: 59)

 

Dengan memegang teguh dua kitab ini, seseorang akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus dan tidak akan tersesat selamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian 2 perkara. Kalian tidak akan tersesat apabila kalian memegang keduanya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Imam Malik).

 

Kita tidak akan selamat dari berbagai macam kesesatan dan penyimpangan, kecuali kita kembali kepada 2 sumber yang menjadi pedoman kaum muslimin. Dua pedoman inilah yang menjadi timbangan bagi kaum muslimin dalam menghukumi satu perkara kebatilan ataukah kebenaran, kebaikan atau kejelekan, semua ditimbang dengan timbangan Al Qur’an dan sunnah. Perlu kita ketahui pula di dalam menimba ilmu syar’i, hendaknya kita mengambil ilmu dari ahlinya, yaitu para Ulama. Telah kita jelaskan pada edisi sebelumnya, bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka bersungguh-sungguh menimba ilmu dari sumbernya. Sehingga mereka memahami agama ini dengan benar dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang di perintahkan  Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka (para Ulama) bagaikan lentera di malam hari, membimbing manusia menuju jalan yang benar. Tidaklah semua orang ketika mengkaji Al Qur’an dan sunnah bisa langsung memahaminya, akan tetapi butuh para ulama yang menjelaskannya, memahamkan apa yang diinginkan darinya. Para ulama secara turun temurun menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mulai dari kalangan sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian generasi setelahnya (tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka sampai hari akhir.

 

Islam di puncak kejayaan pada masa-masa mereka tidak lain dikarenakan mereka memegang Al Qur’an dan as Sunnah dengan kokoh. Kaum muslimin semua bersatu di atas dua pedoman ini dan mengembalikan segala permasalahan kepada orang-orang yang berilmu diantara mereka. Maka apabila kaum muslimin menginginkan kejayaannya kembali, hendaknya semua kembali kepada Al Qur’an dan as Sunnah. Sebagaimana Imam malik rahimahullah berkata, “Tidak akan baik umat sekarang ini, kecuali dengan apa yang telah menjadi baik umat-umat terdahulu (yaitu dengan Al Qur’an dan Sunnah).”

 

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan kita semua di atas islam, memberi kekuatan untuk bisa mengamalkan, dan memudahkan langkah kaki untuk menempuh jalan menuntut ilmu agama. Allahumma amiin.

 


 

Keutamaan Ilmu

Tidak diragukan bahwa ilmu dan ahli ilmu memiliki kedudukan disisi Allah subhanahu wa ta ‘ala. Kita melihat para Ulama dihormati dan dimuliakan dikarenakan ilmu yang ada mereka. Hal ini adalah ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana di dalam firmannya, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadilah:11). Cukuplah bukti keutamaan ilmu ketika orang-orang bodoh mengaku dirinya berilmu dan benci untuk dikatakan bodoh. 

 

Di dalam syariat dibedakan hukum tangkapan buruan Anjing yang terlatih dan diajari dengan Anjing biasa. Adapun Anjing yang diajari dan terlatih dalam berburu maka tangkapannya halal untuk dimakan apabila kita melepasnya dengan mengucapkan Basmallah, berbeda dengan Anjing biasa,  hasil tangkapanya tidak halal untuk dimakan (haram). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. AL Maidah:4).

 

Dengan ilmu setiap permasalahan bisa diketahui jalan keluarnya, oleh karena itu kita diperintahkan untuk bertanya dalam berbagai urusan dan permasalahan kepada orang berilmu. Dalam urusan agama kita bertanya kepada para Ulama, urusan dunia kepada orang yang ahli dalam bidang dunia tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl: 43).

 

Terlebih dalam permasalahan agama, kita harus lebih semangat untuk mempelajari dan bertanya tentangnya. Karena ilmu agama kunci kebahagiaan hamba di dunia dan di akhirat. Salah satu bentuk kebahagiaan yang akan di dapat para penuntut ilmu dan ahli ilmu di dunia, para makhluk Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, terlebih kebahagiaan di akhirat Allah mudahkan jalannya menuju surga, dimudahkan untuk menempuh jalan-jalan kebaikan sesuai dengan ilmu yang mereka miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam abu Dawud dan Imam at Tirmidzi, dari sahabat Abu Darda radhiyallahu’anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya terhadap para pencari ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit  dan bumi, sampai pun ikan yang ada yang berada di lautan. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan purnama dibandingkan seluruh bintang-bintang yang ada. Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, hanyalah mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mangambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak”.

 

Tidak ada warisan yang paling berharga daripada ilmu. Manfaat ilmu tidaklah terbatas untuk orang yang kita tinggalkan, akan tetapi untuk generasi berikut dan berikutnya selama ilmu tersebut diambil manfaatnya oleh manusia. Pahala senantiasa mengalir bagi orang yang telah mengajarkan ilmu walaupun jasadnya sudah terkubur di dalam tanah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila meninggal anak Adam maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali 3 perkara; 1) Sedekah jariyah, 2) Ilmu yang diambil manfaatnya, 3) Anak shalih yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)

 

Dengan ilmulah kita dapat membedakan kebaikan dengan kejelekan, kebenaran dengan kebatilan, halal dan haram, juga membimbing, mengarahkan kita untuk mendapatkan kecintaan, keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala menjadi penjaga kita dari berbagai macam kebinasaan, kesesatan, penyimpangan di dalam agama. Oleh sebab itu diwajibkan bagi setiap kaum muslimin untuk belajar, terkhusus belajar perkara-perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan bagi setiap hamba, baik tata cara shalat, puasa, zakat sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah dan diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Seorang muslim tidaklah dapat mewujudkan ibadah dengan benar tanpa didasari dengan ilmu. Kebutuhan kita terhadap ilmu itu lebih besar dibandingkan kebutuhan kita terhadap makanan atau minuman. Makan dan minum kita butuhkan 2 atau 3 kali saja dalam sehari, akan tetapi kebutuhan kita terhadap ilmu setiap hirupan nafas kita. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, menjelaskan betapa butuhnya kita semua terhadap ilmu yang bermanfaat. Menimba ilmu merupakan ibadah yang besar, bahkan al Imam asy Syafi’i pernah berkata, “Amalan yang paling utama setelah amalan-amalan yang wajib ialah menuntut ilmu.”

 

Akan tetapi keutamaan semua ini bisa di dapatkan apabila seorang ikhlas di dalam menggali ilmu karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat dan memberi kekuatan untuk kita menempuh dan menggalinya, Allahumma Amiin.

 


 

 

Persiapan Menyambut Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan yang ditunggu oleh kaum muslimin. Bulan yang penuh dengan amalan, kaum muslimin mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak amalan pada bulan sya’ban guna menyambut Ramadhan bulan setelahnya terutama dalam berpuasa. Sampai ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan dalam satu hadits, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa sehingga kami mengatakan, ‘Beliau tidak pernah berbuka (pada siang hari)’ dan dahulu Rasulullah berbuka sampai kami mengatakan, ‘Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berbuka’. Tidaklah aku melihat Rosulullah menyempurnakan  puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan dan tidak pula aku melihat Rasulullah berpuasa pada satu bulan yang paling banyak berpuasa padanya kecuali bulan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Dengan hadits ini, para Ulama mengambil kesimpulan disunnahkannya memperbanyak amalan puasa pada bulan Sya’ban. Hal ini dalam rangka membiasakan dan melatih diri berpuasa sebelum masuk bulan Ramadhan. Sampai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya dapat mengqadha puasa-puasa yang sebelumnya dikarenakan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disisi ‘Aisyah, sehingga demi memberikan pelayanan yang baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengakhirkan mengqadha puasa hingga bulan Sya’ban, karena pada bulan inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa.

 

Bulan sya’ban menjadi bulan pemanasan dan latihan, sehingga apabila telah masuk bulan yang di tunggu-tunggu yaitu bulan Ramadhan, tinggal melanjutkan dan memantapkan apa yang telah dijalani.

 

Datang keterangan dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila masuk pertengahan Sya’ban janganlah kalian berpuasa”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi menshahihkan hadits kata syaikh Al Albani, hadits ini shahih sesuai syarat imam muslim)

 

Dari hadits ini seakan-akan bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, namun sebenarnya hadits ini tidaklah bertentangan dikarenakan larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk berpuasa pada bulan Sya’ban apabila sudah masuk pertengahan dari bulan itu. Akan tetapi apabila seseorang berpuasa dari awal bulan sampai akhir bulan Sya’ban, tidak masuk dalam larangan tersebut.

 

Hal ini sebagaimana larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk puasa pada hari yang diragukan, yaitu  tanggal 28, 29, 30 di bulan Sya’ban dalam rangka berhati-hati dari masuknya awal bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sebelumnya 1 atau 2 hari kecuali seseorang yang terbiasa puasa sebelumnya, maka berpuasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Dalam hadits yang lain disebutkan, dari sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “siapa saja berpuasa pada hari yang diragukan padanya, maka telah memaksiati Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

 

Maka kita dapat mengambil kesimpulan dari keterangan hadits-hadits diatas bahwa, tidak bolehnya berpuasa apabila sudah masuk pertengahan bulan Sya’ban, terlebih berpuasa 1 atau 2 hari sebelum masuk bulan Ramadhan. Bagi seorang yang berpuasa sunnah dari awal bulan Sya’ban tidaklah masuk dalam larangan ini. Baginya untuk meneruskan puasanya walaupun bertepatan dengan 1 atau 2 hari sebelum masuk bulan Ramadhan.

 

Marilah kita bersemangat wahai kaum muslimin, untuk meningkatkan dalam melaksanakan ibadah pada bulan Sya’ban ini, terutama ibadah puasa. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, ketika kita menyambut bulan yang penuh dengan berkah dan ampunan yaitu bulan Ramadhan, kita telah bersiap untuk menambah berbagai amalan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

“Ya Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingatMU, bersyukur kepadaMU, dan beribadah dengan baik kepadaMu”, Allahumma Amiin.

 


 

 

 

Nilai Sebuah Kejujuran

Islam datang di tengah – tengah manusia mengajak kepada kejujuran, baik dalam ucapan atau amalan. Secara fitrah manusia sepakat bahwa kejujuran adalah akhlak yang mulia nan terpuji. Manusia cenderung senang terhadap orang – orang yang jujur, sebaliknya kedustaan, kebohongan merupakan akhlak yang tercela. Manusia merasa tidak aman dengan orang – orang yang senantiasa berdusta.

 

Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat sebagai rasul, dikenal sebagai orang terpercaya dan jujur. Orang – orang kafir Quraisy mengakui akan kejujuran beliau, sehingga beliau diberi gelar “Al Amiin”.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan memerintahkan kepada para sahabat agar mereka senantiasa diatas kejujuran. Sebagaimana ketika ditanyakan oleh raja Heraklius (Hiroqol), apa yang diajarkan dan diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya? Dijawab : Ia memerintahkan kami melaksanakan shalat, bersikap jujur, menjaga kehormatan dan menyambung silaturahmi. Beribadahlah kepada Allah saja dan jangan menyekutukan kepadanya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan bapak – bapak kalian.

 

Makna dari jujur ialah sesuainya kabar dengan kenyataan. Apabila seseorang mengabarkan sesuatu sesuai dengan terjadinya tanpa dia tambah – tambahkan atau dia kurangi, dia telah berkata jujur. Adapun jujur dalam amalan yaitu seseorang berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya, dzahirnya sama dengan batinnya. Maka orang yang beribadah dengan ingin dilihat orang lain, tidaklah jujur dalam amalannya.Karena dia menampakkan seakan beribadah dengan ikhlas karena Allah akan tetapi hatinya bertentangan.

 

Kejujuran adalah pangkal dari berbagai macam kebaikan. Betapa banyak muncul kebaikan disebabkan dari kejujuran. Terjalinnya silaturahmi, saling percaya, amanah senantiasa terjaga, dan yang lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). apabila Telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). tetapi Jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad : 21)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu : “sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan menghantarkan menuju surge. Sesungguhnya seorang dia berkata jujur, sehingga dicatat disisinya sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan menghantarkan kepada kejelekan dan kejelekan menghantarkan kepada neraka. Sungguh seorang berdusta sampai Allah catat dia sebagai pendusta.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Dari kejujuran timbul rasa tenang, karena orang yang jujur tidak pernah menyesal. Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menyelamatkan orang yang jujur dengan kejujurannya, sehingga kita dapatkan orang – orang yang jujurdalam keadaan tenang tidak pernah menyesali apa yang telah terjadi. Dikarenakan dia telah melakukan sesuai dengan yang semestinya dan jujur, baik dalam ucapan atau perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya kejujuran adalah ketenteraman dan dusta adalah kebimbangan.” (HR.Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh Al Albani)

 

Nilai kejujuran didalam syariat sangatlah agung. Allah subhanahu wa ta’ala membalas kejujuran dengan ganjaran yang besar. Dalam ayatnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

 

Namun yang sangat disedihkan, kejujuran menjadi sesuatu yang langka ditengah – tengah manusia. Tidaklah didapatkan orang yang jujur kecuali segelintir dari kalangan mereka. Adapun kedustaan menjadi sesuatu yang ringan, menyampaikan kabar tidak sesuai dengan kenyataannya. Kadang dilebihkan kadang dikurangi, bahkan jauh dari kenyataan.

 

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala memposisikan orang – orang yang jujur derajat kedua setelah para nabi dan rasul.Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang – orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dengan jalan yamg lurus. Mereka – mereka yang engkau berikan kenikmatan dari kalangan para nabi, orang – orang jujur, orang yang mati syahid, dan orang – orang yang shaleh, mereka – merekalah sebaik – baik teman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An Nisaa : 69).

 

Abu Bakr ash Shiddiq radhiyallahu’anhu adalah manusia paling jujur diantara para shiddiqin, sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang paling utama. Beliau membenarkan kabar yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tanpa keragua. Sehingga beliau diberi gelar ash shiddiq. Beliau senantiasa jujur dalam ucapan dan perbuatan.

 

Barangsiapa yang ingin mendapatkan keutamaan sebagaimana yang telah didapatkan oleh Abu Bakr ash Shiddiq radhiyallahu’anhu, baginya untuk bersifat jujur. Hendaklah kejujuran menjadi perangai yang ada pada seorang muslim. Jadilah kiya termasuk orang – orang yang jujur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At Taubah : 119).

 

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufiq kepada seluruh kaum musliminvuntuk bersikap jujur dalam ucapan dan amalan, Allahumma Amiin.

 


 

 

 

Faktor Penting dari Kemunduran Umat Islam

Maju dan mundurnya islam bergantung kepada kaum muslimin dalam menjalankan hukum syariat islam ini di tengah – tengah mereka

 

Para cendekiawan islam dan orang – orang yang memiliki semangat dalam memegang islam telah meneliti, apa sebab kemunduran islam dan kaum muslimin. Apa sebab lemahnya kaum muslimin di hadapan musuh – musuh mereka.

 

Para ulama pun menyimpulkan bahwa sebab terbesar kemunduran islam dan lemahnya kaum muslimin di hadapan musuh – musuh mereka adalah kebodohan. Bodoh akan Allah subhanahu wa ta'ala dan juga agamanya, bodoh akan akibat  - akibat dari perbuatan yang dilakukan. Dari inilah muncul sebab – sebab yang lainnya: Mengikuti hawa nafsu, menyia – nyiakan sholat, menyia – nyiakan harta, perpecahan, perselisihan dan tidak adanya saling membantu sesama kaum muslimin.

 

Sehingga kaum muslimin bersemangat dalam mengumpulkan dunianya dengan berbagai macam cara. Tidaklah yang menjadi tujuan dia kecuali kepentingan dan keuntungan untuk dirinya sendiri, walaupun dia harus mengorbankan sebagian agamanya, bahkan agamanya secara keseluruhan. Wal'iyadzubillah.

 

 Datang dalam Al - Qur'an, ayat – ayat yang menjelaskan jeleknya kebodohan, akibat – akibat buruk dari kebodohan, serta kerusakan – kerusakan yang timbul disebabkan kebodohan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman; “Yusuf berkata, wahai tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang - orang yang bodoh” (Yusuf : 33 )

 

Diantara sebab kebodohan sebagaimana yang bisa kita ambil kesimpulan dari ayat diatas adalah terjatuh dalam berbagai macam kejahatan, penyimpangan dan kemaksiatan.

 

Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita untuk berdoa di setiap shalat kita, baik yang wajib ataupun yang sunnah, yaitu Berlindung dari sifatnya orang – orang nashrani. Allah subhanahu wa ta'ala sebut mereka dalam surat al fatihah adalah orang – orang yang tersesat. “(yaitu) jalan orang - orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”  (Al Fatihah : 7)

 

Orang – orang tersesat dikarenakan mereka melakukan amalan – amalan dalam agama tanpa disertai dengan ilmu, tanpa dilandasi dengan dalil dan keterangan yang jelas.

 

Tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin untuk keluar dari kemunduran dan keterpurukan di hadapan musuh – musuh mereka kecuali dengan mempelajari ilmu agama, mengkaji dan menggali hukum – hukum islam dalam al – qur'an dan as sunnah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan pahamkan dia di dalam agamanya” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Hadits ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan kebahagiaan bagi individu dan golongan, islam dan kaum muslimin, untuk mereka ber tafaqquh fid diin (memahami ilmu agama).

 

Dengan memahami ilmu agama, kaum muslimin akan mengetahui kewajiban – kewajiban mereka. Dari mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka melawan musuh Allah, agar kalimat Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa tinggi, menjauhi kesesatan,kemaksiatan dan dosa. Bersemangat dalam menjalankan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka, bersatu dengan sesama kaum muslimin dalam menjalankan syariat, saling tolong – menolong atas apa yang Allah subhanahu wa ta'ala wajibkan bagi hambanya.

 

Maju mundurnya islam tergantung kepada kaum muslimin dalam menjalankan hukum – hukum islam di tengah – tengah mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; “Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan riba, telah dilalaikan dengan ternak – ternak kalian dan ridha dengan pertanian kalian, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan sampai kalian kembali pada agama kalian. (HR. Abu Daud, dishahihkan syaikh Al Albani dalam ash shahihah no 11)

 

Semakin jauh kaum muslimin dari agama mereka, semakin terpuruk dan hina di hadapan musuh mereka. Yang sangat menyedihkan kaum muslimin tidak sadar bahkan mengikuti musuh – musuh mereka dari kalangan yahudi dan nashrani dalam kehidupan dan pergaulan mereka. Sehingga mereka semakin terjebak dalam kemunduran, terlena dengan kehidupan dunia, lupa akan kehidupan yang hakiki, yaitu kehidupan akhirat. Sementara ayat – ayat dalam al qur'an dan keterangan  - keterangan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan hal tersebut. Ini semua disebabkan kebodohan kaum muslimin terhadap islam dan syariatnya.

 

Padahal Allah subhanahu wa ta'ala membuat hukum syariat untuk kemaslahatan hambanya di dunia dan di akhirat, tidaklah Allah subhanahu wa ta'ala  tetapkan satu perkara, kecuali kebaikannya kembali kepada hamba tersebut.

 

Keadaan seperti ini menuntut kaum muslimin untuk segera kembali kepada agama mereka, kembali mempelajari Al – qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berusaha membebaskan diri dari keterpurukan. Karena mereka sendirilah yang dapat membebaskan dari keterpurukan, sehingga Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan pertolongan-Nya, menjadikan islam jaya ditengah agama – agama yang lain.

 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: “Baginya (manusia) ada malaikat – malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain dia” (Ar Ra'd : 11).

 

Barangsiapa yang ingin terbebas dari kemunduran, hendaknya merubah diri – diri mereka, kembali menjalankan syariat secara utuh, menjauhi segala kemaksiatan, sadar akan adanya musuh – musuh Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga mempersiapkan segala sesuatu untuk mengembalikan kejayaan islam dan kaum muslimin.

 

Allah subhanahu wa ta'ala akan senantisa menolong hamba-Nya ketika mereka menolong agama Allah, dengan cara beribadah, mendekatkan diri kepada-Nya, menyeru kepada perkara yang baik dan mencegah dari kemunkaran

 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman : “Wahai orang – orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”  (Muhammad : 7).

 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:  “(Yaitu) orang – orang yang jika kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kepada Allahlah  kembali segala urusan” (AL Hajj : 41).

 

Wahai kaum muslimin marilah kita mengembalikan kejayaan islam sebagaimana telah didapatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama sahabatnya, kembali kepada islam yang murni yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

 


 

Ingatlah Allah

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelebihan kepada manusia dibandingkan makhluk lainnya berupa akal pikiran. Dia memberikan akal pikiran tersebut agar manusia dapat mentadaburi tanda-tanda kebesaran Allah yakni berupa keseimbangan yang ada di alam semesta, siang dan malam, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, bahkan pada tubuh manusia sendiri terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin. Dan pada diri kalian sendiri, apakah kalian tidak melihatnya?”  (Adz Dzariyat: 20-21)

 

Ketika manusia memerhatikan dan merenungkan apa-apa yang terjadi di bumi ini maka ia akan menyadari bahwa di sana ada Dzat yang Maha Kuasa yang menciptakannya, Dzat yang Maha Esa yang mengaturnya dengan pengaturan yang sempurna.

 

Sehingga Sang Pencipta dan Pengatur tersebut adalah satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar karena Dialah yang Maha Esa, Dialah yang Maha Kuasa, dan Dialah pemilik seluruh nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan padanya.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wahai manusia beribadahlah kepada Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”   (Al Baqarah: 21)

 

Kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allah agar kita bertakwa kepada-Nya. Ketika seseorang bertakwa kepada Allah maknanya: dia mensyukuri Allah dan tidak mengkufuri-Nya, dia menaati Allah dan tidak melanggar-Nya, dia pun mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya.

 

Mengingat/berdzikir kepada Allah merupakan aktivitas yang mulia dan sangat berharga. Ketika seseorang banyak menghabiskan waktu untuk berdzikir kepada Allah tidaklah dia merugi. Justru hal tersebut merupakan tabungan baginya di hari akhirat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang keutamaan dzikir “laa haula walaa quwwata illaa billaah”, Rasulullah bersabda kepada sahabat beliau Abu Musa Abdullah bin Qois Al Asy'ari: “Wahai Abdullah bin Qois, maukah aku tunjukkan kepadamu harta karun dari harta-harta karun surga, yaitu laa haula walaa quwwata illaa billaah.”  (HR Al Bukhari dan Muslim)

 

Begitu pula dzikir-dzikir lain yang shahih (benar) datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, merupakan tabungan bagi seorang hamba di akhirat. Di antara kitab yang memuat dzikir-dzikir yang dibaca oleh Rasulullah adalah kitab Al Adzkar, yang ditulis oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i.

 

Keuntungan amalan dzikir/mengingat Allah pun dapat dirasakan di dunia, yaitu merupakan sebab datangnya ketenangan. Sehingga seseorang yang lalai dari berdzikir pada hakikatnya ia tidak mendapat ketenangan. Walaupun dia terlihat tenang secara zhahir, akan tetapi batinnnya tidak memiliki ketenangan. Atau ketenangan tersebut hanya dirasakannya pada waktu yang sesaat. Bahkan seseorang yang lalai dari berdzikir diumpamakan seperti orang yang mati.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Rabbnya bagaikan orang yang hidup dan yang mati.”  (HR Al Bukhari)

 

Ketenangan yang ada pada diri seorang hamba berasal dari Allah. Sehingga seseorang yang hendak mendapatkan ketenangan tersebut harus menjalani sebab-sebab yang Allah tetapkan. Di antara sebab tersebut adalah dzikir kepada Allah.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang.”  (Ar Ra’d: 28)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sekelompok manusia berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitabullah (Al Quran) dan mereka saling mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka sakinah(ketenangan) dan diliputi rahmat dan dikelilingi malaikat dan Allah menyebut-nyebut mereka.”  (HR Muslim)

 

Bagaimana mungkin Allah akan memberikan ketenangan kepada seorang yang lalai dari berdzikir kepada Allah.  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang lupa kepada Allah. Maka Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.”  (Al Hasyr: 19)

 

Akan tetapi, jika seorang hamba berdzikir kepada Allah, khusyu mengingat-Nya, Allah Maha Mensyukuri perbuatan hamba tersebut.

 

Allah ta'ala adalah Dzat yang senang dipuji. Sehingga hendaknya kita bersemangat untuk berdzikir dan memuji-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tak ada satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diriNya sendiri.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

 

Hal tersebut bukan berarti Allah membutuhkan pujian dari hamba-Nya. Allah tetap mulia walaupun seluruh manusia lalai dari berdzikir kepada-Nya. Akan tetapi manusialah yang membutuhkan untuk selalu mengingat Allah karena manusia itu faqir kepada Allah. Manusia sangat membutuhkan untuk beribadah kepada Allah.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wahai manusia kalian itu fuqoro (sangat butuh) kepada Allah.”  (Fathir: 15)

 

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada sahabatnya agar senantiasa melantunkan lafazh-lafazh dzikir kepada Allah.Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

 

Sahabat Abdullah bin Busr berkata: Ada seseorang menemui Nabi lalu berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya syariat-syariat Islam ini semakin banyak atas kami, maka adakah satu perkara yang lengkap yang dapat kami pedomani (amalkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikir (mengingat) Allah azza wa jalla.”  (HR Ahmad)

 

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah: “Sungguh mengherankan jika ada orang yang mengaku cinta, membutuhkan orang yang mengingatkannya tentang yang dicintainya tersebut.”

 

Maknanya seseorang yang mencintai Allah ia tidak membutuhkan orang lain untuk mengingatkannya tentang Allah, akan tetapi ia senantiasa berdzikir/mengingat Allah.

 

Seorang hamba yang senantiasa berdzikir kepada Allah selain ia mendapat ketenangan di dunia, ia pun akan mendapat jaminan dari Allah. Ia akan mendapat pertolongan dari Allah ketika ditimpa kesulitan.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kalau seandainya dia (Nabi Yunus) tidak termasuk orang yang senantiasa berdzikir (bertasbih) kepada Allah, ia akan tetap berada dalam perut ikan sampai hari dibangkitkan.”  (Ash Shaaffat: 143-144)

 

Akan tetapi Nabi Yunus senantiasa bertasbih di waktu lapang sehingga Allah menyelamatkannya dari kesulitan.

 

Juga dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kenalilah Allah ketika lapang maka Allah akan menolongmu ketika sempit.”  (HR Ahmad dan Al Baihaqi)

 

Merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat: “Aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah” yaitu hendaknya setiap muslim meniru Nabi Muhammad dalam setiap ibadah yang beliau kerjakan termasuk dalam hal berdzikir/mengingat Allah. Karena telah jelas bagi stiap muslim bahwa beliaulah yang paling bertakwa kepada Allah dan beliaulah makhluk yang paling dicintai oleh Allah.

 

Begitu pula hendaknya kita meniru Nabi Muhammad dalam hal kuantitas beliau dalam berdzikir kepada Allah. Beliau senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap waktunya sebagaimana diucapkan oleh ‘Aisyah :

 

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan.”  (HR Muslim)

 

Beliaupun merupakan manusia yang terdepan dalam mengamalkan firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.”  (Al Ahzab: 41)

 

Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk berdzikir kepada-Nya dan semoga kita dikumpulkan bersama Rasulullah beserta orang-orang yang senantiasa berdzikir di hari kiamat nanti. Aamiin.

 


 

Wujud Kecintaan Kepada Rasul

Perkara yang wajib bagi kaum muslimin, menjadikan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam sebagai panutan suri teladan bagi mereka. Meyakini bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam adalah orang yang menyampaikan syariat dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada yang diikuti oleh kaum muslimin kecuali Rasul Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Inilah makna dari kalimat syahadat “Bahwa Muhammad utusan Allah”. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam suri teladan yang baik bagi umat ini, mengajak kepada segala bentuk kebaikan dan ketaatan.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Al Ahzab : 21)

 

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam orang yang paling utama untuk kita cintai, bahkan lebih diutamakan dari kecintaan kita terhadap diri kita sendiri. Umar ibnu Khaththab radhiyallahu’anhu pernah mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai utusan Allah, engkau adalah orang yang paling aku cintai setelah diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Belum wahai Umar, sampai engkau jadikan Aku lebih engkau cintai dibandingkan dirimu sendiri. Kemudian Umar ibnu Khaththab radhiyallahu’anhu menjawab: “Sekarang wahai Rasulullah, Engkau lebih aku cintai dibandingkan diriku sendiri. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Sekarang wahai Umar, engkau telah mencintaiku.”

 

Dalam hadits yang lain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dia cintai dibandingkan orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”(HR Bukhari dan Muslim)

 

Banyak di kalangan kaum muslimin yang mengaku cinta terhadap Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, namun bagaimanakah wujud kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam? Apakah dengan hanya memperbanyak sholawat kepadanya? atau dengan menyebut – nyebut namanya?

 

Wujud kecintaan yang benar kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan mentaati dan mengikuti. Oleh karena itu makna Muhammad utusan Allah adalah membenarkan apa yang beliau kabarkan, mentaati mentaati apa yang beliau perintahkan, menjauhi segala apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

 

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7).

 

Ketaatan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam adalah ketaatan yang mutlak. Maknanya tidak boleh bagi kaum muslimin untuk tawar menawar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam didalam agama. Tidak ada lagi bagi mereka kecuali melaksanakannya.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:  “Dan tidaklah pantas bagi laki – laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab : 36)

 

Dari bentuk kecintaan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah: 

 

Ø    Melaksanakan sunnah – sunnahnya, karena tidaklah yang beliau ajarkan kecuali kebenaran dan petunjuk dari allah subhanahu wa ta’ala. Melaksanakan ibadah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, dari ibadah sholat, zakat, puasa, haji, berwudhu, berdzikir dan ibadah – ibadah lainnya. 

 

Ø    Tidak mengada – adakan perkara yang baru didalam agama ini dan keluar dari apa yang telah beliau ajarkan. Karena siapa saja yang melakukan sesuatu yang baru di dalam agama ini dan tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka amalan tersebut tertolak. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menegaskan dalam sebuah hadits, dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda: :”Barangsiapa yang mengada – adakan dalam urusan kami ini yang bukan darinya maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Wahai kaum muslimin buktikanlah kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan mengikutinya, mencukupkan dengan sunnahy – sunnahnya. Dengan itulah kita telah mewujudkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Tidaklah Allah dan RasuNya menginginkan diri kita kecuali taat kepada keduanya, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam hanya sebagai penyampai dan pembawa syariat dariNya.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang. (At thagabun : 12)

 

Buktikan dengan cinta terhadap sunnah – sunnahnya, berusaha untuk mengamalkannya, berakhlak dengan akhlak Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang mulia, membela diri Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, juga membela kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan orang – orang yang beliau cintai diatas kebenaran.

 

Sehingga kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bukanlah kecintaan yang kosong, hanya pengakuan semata, banyak dari manusia mengaku cinta terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, namun tidak dibuktikan denga hal – hal yang telah dijelaskan, bahkan melakukan perkara – perkara yang bertentangan dengan pengakuan mereka, terjatuh dalam berbagai macam kebidahan, mencela hadits – hadits, dan keterangan yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, mendustakan dan tidak meyakininya, padahal kabar itu datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Ketahuilah! Keselamatan dan kebahagiaan ada dengan mengikuti dan mentaati perintah Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam dan membenarkan berita darinya. Sementara kebinasaan dan kesengsaraan dengan memaksiati dan melanggar perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam serta mendustakan beritanya.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (Al ‘Araf : 158)

 

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Seluruh umatku masuk kedalam surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat berkata: “Siapa yang enggan wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Barang siapa yang mentaatiku akan masuk surga dan yang memaksiatiku dia enggan masuk kedalam surga.”

 

Imam Malik rahimahullah berkata; “Sunnah itu seperti perahunya nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka selamat dan barang siapa berpaling darinya maka dia akan tenggelam (binasa).”

 

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita semua, memberikan pertolongan untuk melaksanakan sunnah - sunnahnya shallallohu’alaihi wasallam.